Suasana kelas pagi ini hening. Tak ada suara-sara berisik yang bisa mengganggu konsentrasiku saat mnerima pelajaran. Aku mulai curiga, kuedarkan pandangan menyapu seluruh sudut kelas. Akhirnya, aku dapat menyimpulkan, dari wajah dan posisi duduk mereka, hamper 90% menderita penyakit peringkat kedua setelah si tuan besar malas, mengantuk. Sedang aku mendapi diriku sendiri dalam kondisi yang tidak baik dari penyakit yang mereka jangkit. Bahkan, bisa kupastikan jauh lebih mematikan. Jenis penyakit yang sudah lama tak mengunjungiku. Teringat selalu wajah kekasih isaballa swan, Edward Cullen.
Aku bergulat dengannya, si penyakit , sudah sejak tadi. Aku mulai panik. Dua tanganku menutup rapat kedua telingaku. Melindunginya dari bisikan si Stephenie Meyer. Aku seolah mendengarnya membisikkan sebuah nama berulang-ulang, diiringi senyum penuh kemenangan, karena telah berhasil membuatku serasa hampir gila, menolak kehadiran Edward di otakku. Kini, dengan tangan tetap menutup kuat dua telingaku, aku menggeleng kuat-kuat seperti kesetanan. Dan sekonyong-konyong kurasakan panas menjalari syaraf mataku,lalu menyembul ke permukaan dengan wujud air.
“ya Allah, hati ini hanya milik-MU” kuyakinkan diriku dengan perih, bahwa hanya pada-nya kupersembahkan hati ini.
Segera kuhapus air mataku dengan ujung kerudung. Untunglah hari ini teman sebangkuku ‘selingkuh’ lagi. Jadi, aku tidak perlu pusing-pusing mencari jawaban atas pertanyaan yang mungkin diajukannya saat melihat aku menangis.
Untuk bebrapa saat aku bisa memfokuskan perhatianku pada keterangan ustadz. Namun, tak bertahan lama. Konsentrasiku kembali buyar, saat suara-suara memenuhi otakku. Terjadi percakapan antara aku dan aku.
“kau pilih yang mana? Membaca buku ini sampai selesai, atau imanmu terancam, atau… mencukupkan apa yang telah aku baca, dan imanmu selamat?”.
“emm ,,,,, aku,,,,” “cukup! Kau telah benar benar memberhalakannya?
Tidak! Bagaimana mungkin ini terjadi ?.
Pelajaran terahir. Aku tidak bisa berdoa dengan khusuk. Percakapan pendek itu benar-benar mengejutkanku. Tubuhku lemas, detak jantungku kian mengejar, dan mataku kembali panas. Setelah ustadz keluar, ku baringkan tubuh di bangku panjangku. Meringkuk seperti bayi dalam rahim. Aku menangis sejadi-jadinya. Seraya beristighfar berkali-kali diantara rimbun teman-temanku.
***
Matahari tanpak begitu terik dipagi yang kian menyiang ini. Kusandarkan tubuh pada dinding, meletakkan kedua lenganku disisi bawah candela. Menatap kosong keluar, dengan iringan air mata. Aku jadi ingat rumah. Ya, setiap aku memandang keluar candela, bayangan mereka, umi, aba, nenek dan kedua adikku, berputar tak ubahnya kaset CD dikepalaku.
Kini aku semakin sadar, bahwa setiap apa atau siapa yang kusayang berpotensi besar menjadi berhala-berhala hidupku. Kenyataan ini kian membantaiku. Dan kini kandidat baru muncul. Dan aku harus memilih.
***
Jam terahir sudah selesai. Sekarang aku sedang memasang sepatu. Bergegas untuk pulang. Sedang jantungku blom juga berdetak normal, diiringi napas pendek-pendek. Ditambah lagi rasa pusing yang menderaku sejak jam dua tadi. Aku berjalan diantara teman teman. Kami satu tujuan. Pulang ke kompleks masing-masing. Perjalanan dari sekolah ke kompleksku hari ini begitu terasa lama. Mungkin karena terlalu kawatir. Ya, meskipun aku sudah memutuskan untuk tidak meneruskan bacaan twilight sampai kelar.
Blok A. kini aku telah berada di deoan kantor peantren komplekku. Dengan buku dalam dekapan tangan dirik, dan sepatu kutenteng dengan tangan kananku, berjalan menaiki tangga, melewati kamar-kamar blok lain, dan akhirnya…..
“assalamualaikum”. Aku sampai didepan pintu kamarku.
Sebelum masuk kamar, kuteruskan langkahku kerak sepatu. Didekat rak sepatu, kudapati sampah-sampah plastik. Begitu pula halnya disekitar tempat sampah yang dalam posisi terbaring. Pasti kerjaan kucing lagi. Setwlah kuletakkan sepatu aku pun masuk ke kamar. Namun baru satu langkah aku mendekati pintu, aku diam mematung. Kedua ujung alisku bertemu, menatap serius sebuah buku diatas lemariku yang nampaknya bercover orange yang kemerah merahan. Jantungku mulai mengejar. Tapi, piuh….! Aku menghe,buskan nafas lega. Ternyata bukan. Ku kira buku itu. Mungkin sudah diambil uhti Fatimah. Tadi pagi dia bilang mau membaca buku itu sepulang sekolah. Kuhapus keringat yang mengalir didahi dan beberapa daerah diwajahku. Kulanjutkan kembali langkahku menuju lemari. Rasa pusing yang sejak tadi kurasakan menuntut tubuhku untuk segera membaringkan kepala diatas bantal. Masalah ini bukan hanya mengganggu pikiranku, tapi juga kesalahanku. Tapi untunglah semuanya sudah selesai.
Dengan buku tetap didekapanku, kubuka lemari lalu memeriksa ruangan diatas tumpukan bajuku, untuk kemudian meletakkan buku-buku ini diatasnya. Kurasa tanganku menyentuh permukaan suatu benda. Plastic yang biasa digunakan sebagai sampul buku. Aku mulai kawatir saat kusadari benda itu adlah sebuah buku tebal bersampul mika. Jantungku mulai mengejar, membuat dadaku naik turun lebih cepat. Bayangan buku itu Nampak begitu jelas. Kovernya yang orange kemerah-merahan., tebal, juga gambar rambut pirang seseorang wanita yang berbentuk hati. Sesuatu mengalir didahiku, melewati pelipis, dan menetes diatas kurudung yang blom ku lepas. Kuangkat berlahan buku itu dari atas tumpukan bajuku, lalu kutarik keluar, perlahan, engan tangan gemetar. Kurasakan sesuatu menghantam kesadaranku, juga nyeri dikaki saat sosok buku itu menyapa kornea mataku, sebelum semuanya gelap.
0 Comments