Sebuah kisah inspiratif dituturkan oleh Imam Ibn Qutaibah al-Dinawari (w. 889) dalam kitabnya yang masyhur, Ta'wil Mukhtalif al-Hadits.
Suatu hari, ada serombongan orang dari Yaman yang datang, "sowan" kepada Kanjeng Nabi di Madinah. Mereka adalah "al-Asy'ariyyun", orang-orang yang berasal dari kabilah Banu Asy'ar.
Setelah mereka menghadap Kanjeng Nabi, terjadi percakapan tentang berbagai hal. Hingga pada suatu titik, salah satu dari para tamu itu berkomentar tentang salah satu dari anggota rombongan mereka.
"Wahai Rasul, tak ada orang setelah panjenengan yang lebih baik dan lebih 'keren' dari si fulan teman kami ini," kata salah satu dari rombongan itu. Dalam riwayat yang dituturkan oleh Ibn Qutaibah, tak disebutkan dengan jelas siapa nama fulan itu.
Lalu orang itu melanjutkan:
"Lha coba njenengan bayangkan. Di siang hari, selama perjalanan kami dari Yaman ke Madinah ini, teman kami ini selalu puasa. Sementara, jika kami berhenti sebentar di sebuah tempat untuk istirahat, dia akan menjalankan shalat terus-menerus sampai kami berangkat lagi," tambahnya.
Demi mendengar ini, Nabi langsung bertanya:
"Terus siapa yang bekerja untuk dia, mencukupi kebutuhan dia, atau melayani dia sehari-hari?"
"Kami semua lah yang melayani dia, Kanjeng Nabi," jawab mereka. "Kalau begitu, kalian lebih mulia dari dia," kata Kanjeng Nabi.
Bagi Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) kisah ini menggambarkan kondisi di zaman saat ini di mana ada semacam persepsi yang keliru, seolah-olah orang yang paling baik dalam masyarakat adalah mereka yang shalat dan puasanya paling banyak, paling "mempeng" ibadah.
"Kanjeng Nabi mengoreksi, pandangan seperti itu amatlah keliru," tegas Gus Ulil melalui akun Facebook-nya, Jum'at (14/6).
Dalam pandangan Islam, masih menurut Gus Ulil, melayani orang lain, bekerja untuk memakmurkan dunia, nilainya tak kalah, atau malah melebihi shalat dan puasa sunah yang dilakukan setiap hari dan setiap saat.
"Kisah dari Yaman ini perlu terus kita ingat agar kita tak keliru menilai orang shaleh," pesannya.
0 Comments